Dunia tidak hanya akan menghadapi krisis energi pasca peak oil dan perbagai penurunan supply gas, batu bara , uranium dlsb. Dunia menghadapi penyusutan ketersediaan perbagai sumber daya alam lain yang tidak terbarukan atau tidak tumbuh/diproduksi lagi. Diantaranya yang sudah pasti adalah penyusutan ketersediaan lahan untuk produksi pangan. Maka manusia harus berfikir dan bekerja keras, agar pangan itu tetap tersedia untuk sebanyak mungkin penduduk bumi. Bukan hanya tersedia, tetapi juga harus terjangkau.Â
Tahun 2010 lalu penduduk negeri ini kurang lebih berimbang 50/50 antara yang tinggal di perkotaan dan pedesaan, tahun 2025 nanti yang tinggal di perkotaan 2/3 atau dua kali dari yang tinggal di desa. Pada saat Indonesia berulang tahun ke 100, penduduk perkotaan Indonesia mendekati 6 kali dari yang tinggal di desa. Lantas dari mana mereka akan makan ?
Lha wong ketika jumlah penduduk kota dan desa sama-pun kita tidak memproduksi bahan pangan yang cukup, begitu banyak bahan pangan kita impor – apalagi ketika penduduk kota 2 kali penduduk desa dan bahkan menjadi enam kalinya dalam tiga dasawarsa mendatang !
Saat itu beruntung bila kita masih bisa impor bahan pangan, masalahnya kalau toh daya beli ada – bahan pangan yang diimpor belum tentu ada. Saat itu tidak ada G-7, G-20 dan sejenisnya, saat itu adanya G-Zero dimana setiap negara akan berjuang untuk kecukupan pangannya sendiri.
Lantas bagaimana kita akan menyiapkan makanan kita di zaman ketika dunia sedang menuju G-Zero tersebut ? Setiap jengkal lahan yang tersisa harus bisa dipakai untuk memproduksi bahan pangan – termasuk lahan-lahan hijau perkotaan.
Memproduksi bahan pangan di kota atau yang disebut Urban Farming, bukan hanya berfungsi untuk meningkatkan supply bahan pangan bagi seluruh pendududuk – tetapi lebih dari itu, juga menjadi ajang pembelajaran dan penyadaran ke masayarakat bahwa urusan pangan ini adalah urusan kita semua.
Urban Farming bahkan sudah menjadi perhatian FAO yang mendefinisikannya sebagai : “Suatu industri yang memproduksi, memproses dan memasarkan pangan dan bahan bakar, utamanya untuk memenuhi permintaan konsumen di kota kecil maupun kota besar (metropolis), di tanah-tanah yang menyebar di kota yang bersangkutan ataupun sekitarnya, dengan menerapkan metoda yang intensif, menggunakan sumber daya yang ada di kota langsung maupun daur ulang untuk menghasilkan berbagai tanaman pangan dan peternakan.â€
Jadi Urban Farming bukan sekedar menanam sayuran atau buah di sela-sela tanah perkotaan. Berdasarkan definisi di atas, industri Urban Farming yang ideal minimal akan meliputi lima unsur yang saya ilustrasikan di bawah.
Pertama adalah unsur produksi, yaitu mulai dari pemilihan lahan, penyiapan lahan, pengolahan lahan, penanaman dan pengolahan hasil pertaniannya. Lahan-lahan hijau masih banyak bahkan di pusat kota Jakarta misalnya, tetapi untuk mengubahnya menjadi lahan produksi pangan perlu perubahan mindset yang besar bagi seluruh pemangku kepentingannya.
Kedua adalah unsur distribusi dan agregasi, ini adalah untuk mengatasi problem pertanian di perkotaan – yang berbeda dengan pertanian pada umumnya. Bertani di pusat kota tidak pernah bisa memperoleh lahan yang luas, oleh karenanya perlu system yang efisien untuk mendistribusikan hasil pertanian tersebut dan meng-agregasikannya – agar tercapai skala ekonomis suatu usaha pertanian.
Ketiga adalah unsur pasar, karena bertani di tanah perkotaan unsur ongkos produksi utamanya yaitu lahan sudah mahal – maka harus ditemukan segmen pasar yang sesuai untuk hasil-hasil produksinya.
Keempat adalah masalah people atau masyarakat, harus ada upaya penyadaran besar-besaran bahwa semua yang hijau di sekitar kita bisa diubah menjadi hijau atau bahkan warna-warni yang indah namun juga bisa dimakan atau istilah kerennya edible landscape – tata ruang yang bisa dimakan.
Kelima adalah recycle atau daur-ulang , tanah-tanah perkotaan yang umumnya telah menjadi minim nutrisi – perlu kerja ekstra untuk mengembalikannya menjadi lahan-lahan yang subur untuk bercocok tanam. Bila nutrisi harus didatangkan dari tempat yang jauh, ongkos produksi bahan pangan perkotaan menjadi semakin mahal.
Maka nutrisi ini harus bisa diolah dan dihasilkan dari limbah padat dan cair yang berasal dari lokasi atau aktivitas di sekitar object Urban Farming itu sendiri. Limbah pertanian, limbah makanan dan minuman – semuanya bisa diubah dengan mudah menjadi nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tanaman.
Pertanyaan seriusnya adalah bagaimana agar Urban Farming ini bukan sekedar wacana – tetapi adalah hal konkrit yang harus siap diimplementasikan di lapangan ?
Lebih dari itu, ketika benar-benar diimplementasikan-pun akan timbul pertanyaan berikutnya – bagaimana agar kegiatan Urban Farming ini bukan sekedar lifestyle bisnis atau bisnis klangenan yang tidak profitable ? Urban Farming bisa menjadi konsep bisnis yang sangat profitable – dan bahkan sudah ada contoh konkritnya.
Maka kami telah siapkan kompetensi, sarana dan prasarananya agar konsep Urban Farming ini bisa segera menjadi wabah bagi masyarakat perkotaan di negeri ini.
Workshop dua hari di bidang Integrated Organic Farming yang sudah kami umumkan melalui tulisan sebelumnya dapat menjadi bekal dan referensi yang sangat cukup bagi para peminat Urban Farming. Bahkan lebih dari itu, para peserta workshop yang belum memiliki projectnya sendiri – setelah workshop dapat terlibat dalam project-project Urban Farming di beberapa lokasi yang sudah kami siapkan.
Untuk distribusi dan agregasi yang menjadi kunci dari ke-ekonomisan usaha Urban Farming-pun sudah kami siapkan teknologi penunjangnya. System iGrow yang tengah dikembangkan lebih lanjut oleh team kami yang saat ini berada di Silicon Valley, insyaAllah akan dapat menjadi platform untuk agregasi lahan dan modal untuk project-project Urban Farming.
Bila iGrow fokus pada kegiatan on-farm, dari identifikasi lahan sampai panen hasil pertanian – satu system lagi kami siapkan untuk distribusi dan agregasi hasil – sampai ke meja makan konsumen. System yang peluangnya pernah kami tawarkan melalui situs ini – yaitu 101Salads.Com , kini juga telah dimulai pengembangannya.
Jadi secara keseluruhan insyaAllah kami siap untuk mengajak Anda semua yang berminat, untuk menggarap novel idea bertani di tanah-tanah perkotaan ini. Mulai dari menyiapkan contoh modelnya,pelatihannya seperti workshop tersebut di atas, sampai system penunjangnya.
Bila ini kita laksanakan rame-rame, maka sekian tahun yang akan datang – kota-kota besar sperti Jakarta yang akan menjadi semakin besar – akan ditaburi keindahan hijuan yang bukan sekedar hijau, melainkan memberi penduduknya bahan makan.
Bahkan juga bisa ditaburi warna-warni yang indah, bukan hanya warna bunga apalagi warna lampu-lampu perkotaan – melainkan warna-warni buah dan sayur yang tidak berhenti memberikan keindahan dan kelezatan. Contoh konkritnya sudah ada – yang kami tuangkan di brosur pelatihan ini – dapat di-download di link berikut, tinggal menghadirkannya dalam skala yang lebih luas di sekitar kita. Insyaallah.
Oleh: Muhaimin Iqbal (iGrow Co-Founder)
Mohon diinformasikan ke alamat email apabila ada pelatihan kembali mengenai urban farming.
Terima kasih.
Hery
Jogja
Pelatihan urban farming diadakan lagi pada Tgl 23 – 24 April 2016 (pilih salah satu) pak di Depok. Selengkapnya sudah kami email. Terimakasih..