Apa yang bisa Anda jual ke pasar ketika semuanya sudah ada ? apa yang bisa Anda berikan ke orang-orang yang sudah memiliki segalanya ? Jawabannya mungkin sama, yaitu sudut pandang yang berbeda. Barangnya secara fisik tetap sama dengan yang sudah ada di pasar, atau yang sudah  mereka miliki – hanya diberi sisi lain yang selama ini mungkin tidak terlihat. Itulah kurang lebih yang saya pelajari sekaligus tawarkan ke masyarakat pertanian dan teknologi Jepang, ketika mereka mengundang saya untuk datang ke negeri ini sepekan terakhir.
Betapa tidak, dalam hal bertani mereka sudah lebih pinter dari kita – bahkan begitu banyak negeri kita mengirimkan para dosennya untuk belajar ke negeri mereka ini. Begitu-pun dalam bidang teknologi, mereka lebih maju dari kita. Dalam hal modal, mereka juga memiliki lebih banyak dari yang kita miliki. Lantas dimana peluang kita ? itulah menariknya.
Â
Salah satu yang saya temui di negeri mereka ini adalah sebuah perusahaan yang sudah 10 tahun lebih mengelola apa yang saya sebut the ultimate urban farming – jenis urban farming yang saya sendiri masih cita-citakan untuk Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia.
 Mereka bisa bertani di puncak-puncak gedung pencakar langit secara full scale, baik dari sisi jenis yang ditanam maupun ukurannya. Mereka menanam sayur, herbal, bunga-bungaan dan bahkan juga padi di atap gedung. Di atap gedung yang lain mereka beternak lebah, ya agar ada yang membantu penyerbukan tanaman-tanaman di atap gedung-gedung dalam radius sekitar 2 km dari tempat sarang lebah ditempatkan.
Â
Saya sebut full scale karena urban farming mereka bukan hanya life-style atau bahasa kitanya klangenan, mereka melakukannya memang untuk tujuan komersial. Padi yang ditanam di atap gedung mereka gunakan untuk memproduksi sake (minuman keras Jepang yang dibuat dari beras) dan sake-nya dijual jauh lebih mahal dari rata-rata sake yang ada.
Â
Begitu-pun madu yang diproduksi di satu atap gedung bisa mencapai 1 Ton per tahun dan lagi-lagi dijual lebih mahal dari rata-rata madu yang ada di pasaran. Siapa pembelinya ? dan mengapa mereka bersedia membeli barang yang lebih mahal dari yang sudah ada ?
Â
Itulah yang mereka sebut selling an experience – menjual sebuah pengalaman. Orang-orang Jepang tentu sudah terbiasa minum sake dan juga madu, tetapi minum sake atau madu di suatu tempat perbelanjaan – yang saya kunjungi adalah di kawasan Ginza,  pusat perbelanjaannya Tokyo – dimana sake dan madunya dari tanaman yang ditanam langsung di tempat tersebut adalah sebuah pengalaman yang berbeda, dan untuk ini mereka bersedia membayar lebih mahal dari sake atau madu yang lain.
Â
Kecanggihan mereka bertani sampai mengemasnya menjadi barang dagangan ‘ menjual sebuah pengalaman’ ini menginspirasi saya ketika giliran mereka bertanya, apa yang bisa iGrow tawarkan untuk mereka ? Saya tentu tidak ingin kalah cerdas dengan mereka.
Â
Yang saya tawarkan ke mereka adalah ‘Selling A Vision’ – menjual sebuah visi ! Saya sudah tidak lagi perlu mengajari mereka bertani sampai mengemas produk akhirnya, justru kita yang harus belajar dari mereka. Tetapi sebuah visi, tidak semua orang bisa melihatnya.
Â
Bila mereka sudah bertani di gedung-gedung di kawasan Ginza, mengapa tidak memperluasnya ke sebanyak mungkin gedung-gedung di Tokyo, kota-kota lain di Jepang, Indonesia sampai Rio de Janeiro – Brazil yang kita juga sudah ada kontaknya di sana ?
Â
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mewujudkan visi ini agar tidak berhenti sebagai mimpi – karena visi yang tidak bisa diwujudkan hanyalah mimpi belaka !, tantangan terberatnya adalah menduplikasi skills dalam penguasaan pasar dan skills dalam urban farming-nya sendiri.
Â
Untuk tantangan yang ini, kita-pun sudah siapkan jawabannya yaitu skills transfer system yang kita sebut SkillsWhiz yang insyaallah siap diuji cobakan dalam Huurun Project bulan depan.
Â
Dibutuhkan lebih dari 10 tahun pengalaman untuk bisa membangun skills di bidang high rise roof-top urban farming yang efektif – seperti yang sudah mereka lakukan tersebut di atas, tetapi untuk men-duplikasinya sudah tidak perlu lagi waktu 10 tahun yang sama. Duplikasi skills selalu bisa dilakukan jauh lebih cepat dari yang mengembangkannya yang pertama, mengapa demikian ?
Â
Yang pertama melakukannya pasti penuh serangkian trial and error yang panjang, sampai ketemu metode yang terbukti paling efektif. Yang belajar kemudian dari yang pertama, sudah tidak perlu lagi trial and error yang sama. Tinggal diambil the best practice-nya dan tinggal menyempurnakannya dari waktu ke waktu.
Â
Agar visi semacam ini tidak berhenti pada mimpi belaka, maka dibutuhkan kombinasi  Strategy, Operationalization dan People (SOP) yang sesuai. Maka diantara hasil kunjungan saya ke negeri mereka ini, insyaAllah saya ketemu People yang paling sesuai untuk mengimplementasikan visi ini. InsyaAllah.
Oleh: Muhaimin Iqbal (iGrow Founder)