The 3rd Flows

Awalnya manusia itu makan dari tanaman dan binatang ternak yang hidup di sekitar tempat tinggalnya, kemudian di era colonial negeri-negeri kuat menjajah yang lemah untuk diambil hasil buminya. Dilanjutkan di era perdagangan global negeri-negeri maju memompa hasil industrinya ke negeri-negeri lain yang sedang berkembang. Tetapi sejarah selalu berulang, keprihatinan akan efek lingkungan dan melemahnya daya dukung kehidupan akibat dari perdagangan global ini akan mendorong manusia makan kembali dari apa-apa yang tumbuh di sekitarnya – itulah era local food yang akan men-trigger The  3rd Flows.

 

Kita makan protein dari kedelai yang menempuh perjalanan separuh bumi sebelum sampai meja makan kita, demikian pula susu, daging dan bahkan buah juga harus menempuh perjalanan yang ribuan kilometer sebelum bisa kita nikmati. Begitu dominanannya faktor bahan bakar yang menyertai perjalanan bahan-bahan makanan tersebut, sehingga manusia modern di jaman ini bener-bener boros dalam  ‘mengkonsumsi’ bahan bakar yang terbatas ketersediaannya di alam.

 

Untungnya dunia kini  mulai tertarik untuk mengukur sejauh mana bahan makanan itu menempuh perjalanan sebelum sampai meja makan kita, pengukuran ini dikenal dengan apa yang disebut food-miles. Masyarakat modern yang concern akan kelestarian alam, mulai memilih bahan makanan yang ber-food-miles rendah.

 

Manusia modern mulai mencari apa yang disebut local food dengan berbagai definisinya, ada yang menggunakan definisi local food adalah makanan yang diproduksi dalam  radius 100 miles dari tempat dimana dia dikonsumsi, ada yang menggunakan batasan 400 miles dlsb. – tetapi berapapun batasannya, kembalinya gaya hidup local food ini akan banyak membawa kebaikan bagi manusia keseluruhan  yang menghuni bumi ini dan menghadirkan peluang baru bagi negeri yang memiliki penduduk sangat banyak seperti negeri kita Indonesia ini.

 

Tidak bisa dipungkiri bahwa seberapapun manusia berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri, tetap akan ada yang harus didatangkan dari tempat yang jauh. Tetapi priority-nya, yang bisa diproduksi secara local mestinya tidak harus didatangkan dari tempat yang sangat jauh.

 

Untuk kita yang tinggal di negeri ini misalnya, sumber bahan makanan apa yang tidak bisa kita tumbuhkan dalam radius 400 miles dari tempat tinggal kita ? Anda akan kesulitan menyebutkannya, artinya mayoritas bahan pangan kita sesungguhnya bisa dipenuhi secara local. Lantas mengapa kita datangkan dari tempat yang begitu jauh ?

 

Faktornya banyak, tetapi utamanya ini bisa diringkas menjadi tiga pilar ekonomi yaitu pasar, produksi dan modal. Bahkan faktor-faktor lain seperti politik dan keamanan dunia-pun sering dilatar belakangi oleh kepentingan ekonomi alias kepentingan tiga pilar tersebut.

Three Era In Food Flows

 

Bila era colonial dahulu negeri-negeri perkasa menjajah negeri lain untuk dikuasai  produksinya, era pasar global sekarang negeri perkasa ‘menjajah’ negeri lain untuk dikuasai pasarnya – maka era yang sedang mulai menggantikan ini adalah era bagi negeri-negeri yang bisa menyedot capital negara lain untuk masuk ke negerinya.

 

Di era colonial dahulu produksi dari negara-negara jajahan disedot untuk didatangkan ke negeri kaum penjajah, di era pasar global produk-produk berupa barang dan jasa dipompa mengalir dari negeri-negeri adikuasa ke negeri-negeri yang menjadi target pasarnya – dan di era yang sedang menggantikannya tidak lagi harus ada aliran barang yang disedot dari negeri lain atau dipompa masuk ke negeri lain, seperti air yang selalu mengalir ketempat yang lebih rendah – itulah capital.

 

Capital akan selalu mudah mengalir ke-tempat yang paling rendah resikonya, paling rendah hambatan investasinya, dan tentu juga paling rendah biaya produksinya yang akan menjadi factor pengurang dari hasil investasi capital tersebut.

 

Local food adalah contoh dari era yang sedang menggantikan era pasar global di atas. Aliran keluar masuk dari satu negeri ke negeri lain tidak lagi harus berupa aliran barang, tetapi yang lebih penting adalah aliran capital. Di era inilah negeri seperti Indonesia memiliki peluang terbaiknya. Mengapa demikian ?

 

Kita memiliki memiliki sumber-sumber yang dibutuhkan untuk berproduksi, sekaligus kita juga memiliki pasar internal yang sangat besar yang akan mengkonsumsinya sendiri. Bila kita bisa mengolah sumber daya alam kita dengan aliran modal yang baik dan memanfaatkannya untuk pasar kita sendiri saja, itu sudah dapat menjadi potensi pertumbuhan ekonomi yang sangat besar.

 

Bila kebutuhan kedelai, daging, susu dan aneka buah-buahan berhasil kita produksi dalam negeri dan mencukupi kebutuhan dalam negeri saja – kita sudah akan memiliki food security terbaik. Sebelumnya kita babak belur di era colonial dan era pasar global, era local food adalah era yang harus bisa kita menangkan.

 

Di pasar global yang konvensional, kita harus mampu memproduksi barang-barang yang lebih baik dari orang lain dan lebih efisien untuk sampai ke negeri tujuan ekspor – baru setelah itulah kita dibayar dan menghasilkan devisa. Di era local food, kita-lah yang paling tahu kebutuhan masyarakat kita sendiri – dan sekaligus kita yang harus bisa melayani kebutuhan ini yang paling efisien.  

 

Dari sinilah devisa akan mengalir ke negeri ini, tetapi bukan karena kita mengirimkan barang untuk dikonsumsi oleh negeri lain. Kita memproduksi barang untuk kita konsumsi sendiri, hanya modalnya untuk menanam dan memproduksinya bisa datang dari belahan dunia mana saja.

 

Seperti perubahan lainnya di industri per-hotelan yang di-disrupt oleh Air BNB dan sejenisnya, industri transportasi di-disrupt oleh Uber dan teman-temannya, industri pertanian dan bahan pangan dunia juga waktunya di-disrupt oleh berbagai aplikasi teknologi untuk agroindustry seperti iGrow.Asia dan sejenisnya yang sangat banyak bermunculan.

 

Dan disetiap perubahan, juga menghadirkan ancaman tetapi bersamaan dengan itu juga hadir berbagai peluang. Yang terancam adalah segelintir peguasa-penguasa pasar bahan pangan dunia di era pasar global, namun yang mendapatkan peluang adalah jauh lebih banyak dari yang terancam.

 

Petani-petani buah di Jawa, petani kacang di Bali, petani sorghum di NTB, petani jagung di Sulawesi dlsb. kini sudah  dapat meng-akses modal untuk bertaninya dari segala penjuru dunia. Petani-petani ini tidak harus menjadi eksportir, tidak pula harus menjadi TKI untuk menjadi pahlawan devisa nasional – mereka mendatangkan devisa berupa modal yang disedot dari dunia untuk pertaniannya yang unggul.

 

Demikian pula bagi masyarakat awam nun jauh di negeri Eropa, Amerika, Jepang, Australia, New Zealand dlsb. Masyarakat yang umumnya pegawai atau buruh tersebut harta mayoritasnya berupa uang di bank, dana pensiun, asuransi dlsb. Dan uang mereka tersebut tumbuh amat sangat lamban, dari 0.05% per tahun di Eropa sampai 3.5 % per tahun di Australia dan New Zealand.

 

Bayangkan kalau mereka bisa mengakses investasi pertanian secara langsung di Indonesia dengan hasil yang sangat konservatif di sekitar 5%-10 % saja , itu sudah pertumbuhan yang dua kali sampai serratus kali dari pertumbuhan uang mereka selama ini. Merekapun tidak harus menjadi eksportir, tidak harus meninggalkan pekerjaannya – mereka sudah bisa menjadi pemain di pasar pangan global dengan ukuran kebutuhan pasar yang sangat besar seperti Indonesia.

 

Bagaimana dengan resiko ? berbagai bentuk asuransi bisa dikembangkan untuk melindungi investasi mereka ini, mulai dari asuransi pertanian sampai asuransi penjaminan (performance guarantee). Kombinasi dari perbagai bentuk proteksi ini akan memungkinkan investor individu global, berinvestasi di manapun di dunia dengan  aman.

 

Tetapi peluang terbesar bukan hanya dinikmati oleh para petani-petani negeri ini, bukan pula oleh para investor individual global yang tiba-tiba memperoleh peluang untuk menumbuhkan hasil jerih payahnya bekerja puluhan tahu secara legitimate, halal dan terproteksi – peluang terbesar adalah milik masyarakat global keseluruhan penghuni planet ini.

 

Ketika global food berubah menjadi local food, ketika aliran barang berubah menjadi aliran modal – konsumsi bahan bakar untuk memenuhi bahan pangan duniamenjadi sangat berkurang, dunia menjadi lebih sustainable. Lapangan pekerjaan tumbuh proporsional dengan jumlah penduduk suatu negeri, maka kemakmuran-pun lebih merata.

 

Ketika kemakmuran menjadi lebih merata, keamanan dunia juga akan lebih terjaga. Maka The 3rd Flows adalah koreksi sejarah dari era colonial yang mengeksploitasi sumber daya alam negeri yang terjajah, koreksi era pasar global dimana negeri-negeri maju meng-eksploitasi pasar negeri lain yang kurang maju.

 

The 3rd Flows adalah era dimana masyarakat global bisa mengakses capital yang sama dimanapun mereka berada, sehingga dua pilar ekonomi lainnya yaitu pasar dan produksi bisa ditumbuh kembangkan secara lebih merata. Anda mau mengambil peluang untuk era ini ? Anda dapat menyampaikan ide dan visi Anda ke : ceo@igrow.asia.

 

Oleh: Muhaimin Iqbal (iGrow Founder)

(Visited 119 times, 1 visits today)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *