Peringatan Dari Venezuela

Krisis pangan yang terus memburuk di Venezuela menyiratkan pesan yang very loud and clear bagi seluruh dunia. Mereka negeri kaya dengan GDP per capita lebih tinggi dari Indonesia, tanah mereka subur dengan curah hujan rata-rata diatas 2,000 mm/th yang tidak jauh dari kita. Mereka negeri tropis yang iklimnya mirip dengan Indonesia, Malaysia dan Thailand. Tetapi di negeri itu sekarang rakyat yang punya uang-pun belum tentu bisa membeli bahan pangan. Apa pelajarannya? 

 

Antrian makanan yang semakin mengular dijalan-jalan Venezuela menjadi pemandangan lumrah sehari-hari dan sudah berlangsung setahun terakhir. Hasil survey lembaga hak anak negeri itu menunjukkan bahwa 2/3 dari rumah tangga yang memiliki anak – tidak memiliki cukup makanan untuk anak-anak mereka. Sebagiannya mengambil keputusan tragis dengan menyerahkan anak-anaknya ke keluarga yang lebih mampu sekedar untuk memperoleh makanan – tetapi makanan mereka tetap tidak cukup.

 

Apa inti persoalannya sehingga di negeri yang subur dan kaya itu orang tetap tidak bisa makan ? Kesalahan utamanya ada pada para pemimpinnya tentu saja, kemudian diikuti oleh sikap rakyatnya yang tidak membangun budaya menanam.

 

Dalam rezim komunis, tanaman-tanaman harus didaftar oleh negara dan kemudian negara pula yang akan membeli hasil panenannya dengan harga yang juga ditentukan oleh negara. Dengan kondisi seperti ini, siapa yang mau menanam ?

 

Maka di negeri yang luasnya lebih dari separuh luas daratan Indonesia tetapi hanya dihuni oleh sekitar 32 juta penduduk itu – terjadi kelaparan yang amat sangat serius.

 

Negeri itu punya luas daratan lebih dari 1 juta km2 dengan air hujan yang cukup, tetapi hanya sekitar 3 %-nya saja yang ditanami. Rakyatnya enggan menanam karena policy pemerintahnya yang membuat rakyat ter-discourage untuk menanam.

 

Apa yang bisa kita pelajari dari sini ? Di bandingkan mereka memang kita masih harus banyak-banyak bersyukur. Dari luas lahan kita yang sekitar 1,9 juta km2, kita masih menanaminya sekitar 330,000 km2 atau sekitar  18 %-nya.

 

Masalahnya di kita adalah jumlah penduduk kita yang sangat banyak. Bila Venezuela kepadatan penduduk hanya sekitar 30 orang per km2, di kita kepadatan penduduk rata-rata itu mencapai 136 orang per km2 daratan. Jadi meskipun kita masih bisa makan cukup sekarang, ancaman krisis pangan seperti yang dialami Venezuela harus diwaspadai.

 

Utamanya tentu oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait seperti perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Selain mereka harus membuat dan membimbing rakyat untuk gemar menanam, mereka juga harus mampu mengarahkannya pada tanaman-tanaman pangan yang strategis – bukan sekedar menanam.

 

Tidak hanya mengejar kecukupan karbohidrat dan lemak, tetapi juga kecukupan akan protein, vitamin dan mineral. Khususnya untuk sumber protein baik hewani maupun nabati, pemerintah harus membuat iklim produksi yang sangat kondusif – karena bila tidak krisis protein bisa mengancam dengan sangat serius.

 

Protein yang paling terjangkau oleh kebanyakan rakyat kita adalah kedelai, dan ini masih diimpor dengan ukuran sekitar 2.4 juta ton per tahun. Selain masalah kesehatan – karena mayoritas kedelai impor ini dari jenis GMO, supply kedelai global juga dalam ancaman.

 

China mengimpor kedelai dengan pertumbuhan yang sangat massif, rata-rata menambah volume impornya sekitar 10 juta ton /tahun. Bila tiga tahun lalu mereka mengimpor di kisaran 60 juta ton/tahun, tahun lalu impor mereka sudah sampai di atas 80 juta ton/tahun. Adakah yang masih tersisa kedelai untuk kita impor di tahun-tahun mendatang ?

 

Pertanyaan ini yang harus segera bisa dijawab oleh para pengambil keputusan di negeri ini. Karena bila tidak ada yang kita bisa impor lagi, kita butuh menanam tambahan kedelai lebih dari 1 juta hektar untuk menggantikan kedelai yang selama kita impor tersebut.

 

Tidak terbayang Indonesia tanpa kedelai ! Warung-warung tegal dan sekelasnya akan tidak lagi bisa beroperasi karena selama ini menu utama mereka seputar tahu dan tempe, ada yang digoreng, ada yang di-oseng-oseng, disayur dlsb. tetapi semuanya serba tahu dan tempe yang membutuhkan kedelai.

 

Sumber protein hewani tidak akan lebih mudah, untuk ternak besar sumber daging merah masih ada jebakan pakan – feed trap – sehingga kita belum bisa mencukupi kebutuhan sendiri secara sustainable. Selain kendala pakan , juga kendala pada bibit – yang lagi-lagi pembibitan mejadi mahal karena pakannya mahal.

 

Untuk sumber daging putih dari unggas-pun tidak kalah peliknya, pakan unggas tergantung pada jagung impor. Ketika impor jagung diturunkan dan akan berhenti pada tahun 2018, unggas kita juga akan punya problemnya tersendiri.

 

Para konglomerat per-unggasan tentu lebih cerdik dari peternak rakyat, mereka punya solusi pakan dengan mengimpor feed-grade wheat – gandum kwalitas rendah untuk pakan ternak.

 

Tahun lalu Indonesia mengimpor gandum dengan nilai sekitar US$ 1.7 milyar, tahun ini sampai September saja impor gandum sudah mendekat US$ 2 milyar. Dugaan saya ini adalah karena sekarang kita tidak hanya mengimpor gandum untuk makanan manusia, tetapi juga mengimpor gandum untuk pakan ternak khususnya unggas.

 

Memang tugas utama untuk menjaga keamanan pangan tersebut ada di pundak pemerintah beserta seluruh jajarannya yang terkait. Tetapi karena kita bisa menjadi korban sebagaimana rakyat Venezuela menjadi korban dari kebijakan pemerintahnya, maka rakyat juga harus mulai berbuat. Lantas apa yang bisa kita perbuat ?

 

Untuk sumber protein nabati, rakyat dapat bergerak mengumpulkan berbagai jenis kacang-kacangan. Mulai dari berbagai jenis kedelai, koro, kacang dlsb. Ada ribuan kacang-kacangan ini di Indonesia dan insyaAllah di desa-desa masih ada bibitnya. Kalau kita mulai kumpulkan benihnya sekarang dan mulai menanam, insyaAllah krisis Venezuela bisa kita cegah di negeri ini.

Vertical – Urban Farming : Ciplukan

 

Untuk sumber protein hewani pilihan saya ada di ayam kampung, domba dan kambing,  secara turun temurun rakyat kita terbiasa dengan ternak-ternak ini – mengapa tidak kita gerakkan lagi sekarang sebagai langkah jitu untuk membangun ketahanan pangan yang sesungguhnya ?

 

Lebih dari itu rakyat perkotaan-pun bisa mulai menanam sebagian makanannya sendiri , khususnya adalah sumber vitamin dan mineral dari aneka buah-buahan dan sayuran. Rata-rata buah bisa ditanam di perkotaan, di tabulampot sekalipun, demikian pula sayuran.

 

Bahkan ketika tanah kita sangat-sangat sedikit sekalipun kita masih bisa menanam dengan murah dan mudah secara vertical farming misalnya. Contoh vertical farming di samping adalah cara saya menghadirkan kembali buah ndeso untuk mengobati kerinduan masa kecil – yaitu buah ciplukan !

 

Maka inilah salah satu cara kita agar kita bisa mengantisipasi dan mencegah krisis pangan Venezuela dari menjalar ke kita. Kita bisa bangkitkan sentimen kerinduan masa kecil kita di desa untuk kembali menanam, iGrow My Own Food !

 

Oleh: Muhaimin Iqbal (iGrow Founder)

(Visited 70 times, 1 visits today)

2 thoughts to “Peringatan Dari Venezuela”

  1. Assalamu Alaikum Wr.Wb. Pak Muhaimin , terima kasih banyak telah membelalakkan mata saya dan anak-anak saya . mohon informasi rencana besar untuk kedelai , mudahan seperti kacang tanah .. yg saat ini saya tidak kebagian . saya berharap 1). kacang tanah di perluas 2). kacang Kedelai segera di mulai .

    waasalamu Alaikum Wr.Wb .
    siti aisyah .

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *