Sejak dua puluh tahun lalu sebenarnya dunia sudah menyadari kekeliruannya dalam mengelola kebutuhan utama manusia yaitu pangan.  Maka lahirlah konsep food security yang menekankan pada accessibility pangan bagi seluruh penduduk dunia. Namun kesadaran ini tidak ditunjang oleh implementasinya di lapangan, sehingga orientasi pengelolaan pangan dunia masih pada profitability. Dampaknya adalah munculnya segala problem pangan yang kita hadapi kini, dan hanya masyarakat sendirilah yang harus bisa memperbaiki situasi ini.
Kesadaran para pemimpin dunia sudah dituangkan dalam The World Food Summit 1996 yang menyepakati bahwa “food security as existing – when all people at all times have access to sufficient, safe, nutritious food to maintain a healthy and active life.â€
Food security itu ada bila seluruh manusia sepanjang waktu memiliki akses pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk bisa bertahan hidup secara sehat dan aktif.
Masalahnya adalah kesadaran para pemimpin dunia yang seharusnya sudah berlangsung selama setidaknya dua puluh tahun tersebut tidak berdampak pada apa yang terjadi di masyarakat dan pasar, pengelolaan pangan masih berorientasi profit.
Corporatocracy – gabungan antara institusi pemerintah dan perusahaan-perusahaan raksasa dunia – mencengkeram seluruh aspek dan seluruh tingkatan urusan pangan dengan orientasi keuntungan, bukan keterjangkuan.
Dampaknya tidak mengejutkan bila bila Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga adanya persekongkolan kartel ayam yang dilakukan oleh 12 perusahaan, bisnis senilai 450 triliun diperebutkan dan dikavling-kavling utamanya hanya oleh 12 pemain saja.
Sebagai pembanding, angka bisnis unggas ini senilai setara 22 % dari APBN negeri ini – dan lebih besar dari seluruh subsidi yang dikeluarkan pemerintah tahun ini ! Ini baru satu kartel ayam, bagaimana dengan kartel terigu, beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan perbagai kebutuhan pangan lainnya.
Saking besarnya kekuatan kartel-kartel tersebut, sehingga mereka mampu di seluruh dunia mempengaruhi para pengambil keputusan baik di tingkat eksekutif, legislatif maupun yudikatif – bukan hanya di negeri ini. Maka hasil dari The World Food Summit 1996 tersebut – tidak berdampak apa-apa di pasar bahan pangan.
Dari fakta ini kita tahu bahwa sebenarnya bukan konglomerat pangan atau pemerintah yang bisa memperbaiki food security bagi dunia itu. Bila yang mengelola para konglomerat, orientasi mereka sudah jelas – yaitu profitability, apapun akan mereka lakukan untuk mengejar profit yang sebesar-besarnya.
Bila yang melakukan pemerintah, mereka bias kepentingan politik, golongan dlsb. Mereka juga dengan mudah dipengaruhi oleh para pelaku usaha raksasa, yang bahkan mampu untuk mempengaruhi lahirnya pasal demi pasal dari suatu undang-undang.
Maka yang bisa melakukan perubahan pesar di masyarakat itu ya masyarakat itu sendiri : “…Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…†(QS 13:11).
Di jaman teknologi ini, perubahan-perubahan besar bisa terjadi di masyarakat dengan sangat cepat – sehingga perkembangan teknologi inipun bisa kita gunakan untuk melakukan perubahan besar pada konsep pemenuhan kebutuhan pangan kita.
Prinsip dasarnya sederhana, yaitu mengembalikan konsep pemenuhan kebutuhan pangan pada accessibility atau keterjangkauan – bukan pada profitability. Tentu mengejar keuntungan yang wajar juga boleh, tetapi mengejar keuntungan yang berlebihan sampai menempuh cara yang tidak benar – seperti lahirnya berbagai kartel tersebut di atas – adalah suatu keserakahan.
Mengapa fokus accessibility ini harus dikedepankan dibandingkan dengan profitability ? karena masyarakat akan tidak berdaya dalam melawan konglomerasi pangan dunia, bila harus bersaing dalam profitability.
Menanam buah dan sayuran di sekitar rumah kita pasti jatuhnya mahal – karena harga tanah perumahan kita juga sudah sangat mahal. Tetapi bila ini kita budayakan,  sedikit demi sedikit kita akan bisa memenuhi (sebagian) dari kebutuhan pangan kita.
Dengan demikian kita juga akan secara bertahap mengurangi ketergantungan pangan pada supply pangan yang berasal dari para konglomerasi pangan. Bila budaya ini terus ditingkatkan, suatu saat nanti supply pangan akan kembali ke tangan masyarakat.
Konsep kita untuk mengembalikan pengelolaan pangan yang berfokus pada accessibility ini ternyata juga direspon baik oleh organic consumers di benua Amerika, mulai dari Amerika Utara sampai Amerika Selatan – yang melalui organisasinya juga telah menjalin kontak dengan kami.
Inti dari konsep pengelolaan supply pangan pada accessibility ini kami tuangkan dalam gerakan yang kami sebut iGrow ( bisa dibaca I Grow) My Own Food, yang terdiri dari lima langkah sederhana.
Pertama adalah melakukan berbagai edukasi ke masyarakat tentang parktek makan yang baik. Memperbanyak makan dari sumber buah-buahan dan sayur, serta mengurangi ketergantungan pangan pada biji-bijian dan daging – bukan hanya anjuran para dokter terhadap pasien diabetes, jantung, kolesterol dlsb. Ini juga yang oleh Al-Qur’an kita dianjurkan untuk memperhatikannya (QS 80 :24-32).
Sangat bisa jadi kita tidak bisa menanam padi, jagung, apalagi gandum di sekitar rumah kita. Mungkin kita juga tidak bisa pelihara ayam, domba apalagi sapi di komplek perumahan tempat kita tinggal, tetapi kita selalu akan bisa menanam buah dan sayur pada sekecil apapun lahan yang ada di sekitar kita.
Kedua adalah mengaplikasikan hasil edukasi ini dengan contoh langsung, menanam buah dan sayur di sekitar kita. Berulan-bulan saya mengkampanyekan gerakan ini di Masjid komplek tempat saya tinggal, kini sudah mulai ada gerakan kearah sana.
Bila hal ini kita lakukan terus menerus secara persistent , insyaAllah akan timbul lifestyle baru di masyarakat yaitu kegemaran orang kota untuk menanam sayur dan buah. Bila orang kota sudah bergerak, orang-orang desa akan mengikutinya. Peradaban selalu datang dari kota yang ditiru di desa, bukan sebaliknya.
Membangkitkan kembali gairah bertani tidak bisa dilakukan dari desa – karena orang desa idolanya adalah orang kota – apa yang dilakukan oleh orang kotalah yang mereka tiru. Maka gerakan bertani ini-pun akan kita kemas dengan gaya kota – atau lebih dikenal dengan urban farming, yang serangkaian pelatihannya insyaAllah akan mulai kita adakan di bulan April 2016 mendatang.
Ketiga adalah membangun pasar para petani atau pasar komunitas, dimana akses utamanya harus untuk para petani langsung atau asosiasi produk pertanian sejenis – tidak boleh ada tengkulak. Daya beli petani hanya bisa diangkat bila mereka diberi akses pasar langsung.
Untuk farmers market perdana kita insyaAllah bulan depan juga sudah mulai bisa dibuka di jantung perdagangan ibu kota kita – yaitu di Tanah Abang. Lokasi tepatnya adalah di tanah wakaf Said Naum – Tanah Abang, yang akan mulai dibuka setiap hari Sabtu. Hari pertamanya insyaAllah Sabtu 2/4/2016 – silahkan bagi yang berkesempatan partisipasi atau hadir. Short course untuk membuka wawasan urban farming – insyaAllah akan diadakan pada hari pasar tersebut, sedangkan instensif course-nya akan available di Jabodetabek pada bulan yang sama.
Yang keempat adalah menyediakan dukungan terus menerus kepada para petani kota tersebut , sehingga mereka dapat terus berkembang sebaik mungkin. Dukungan tidak terbatas pada yang sifatnya ilmu dan ketrampilan, tetapi juga yang bersifat penyediaan bibit, sarana produksi, peralatan dlsb.
Setelah urban farming ini nantinya menjadi industry berbasis masyarakat atau community-based industry, maka akan tumbuhlah ecosystem industry-nya sendiri yang akan saling menunjang satu sama lain.
Yang kelima adalah ketika gerakan urban farming ini meluas, pasti akan ada ekses produk yang bisa jadi tidak tertampung oleh komunitas itu sendiri. Maka diperlukan adanya agregasi produk, yaitu kegiatan untuk mengumpulkan kelebihan produk dari yang dikonsumsi sendiri atau oleh masyarakat sekitarnya – untuk diintegrasikan lebih lanjut dengan berbagai pasar konvensional yang sudah lebih dahulu ada di masyarakat.
Dengan lima langkah inilah nantinya insyaAllah masyarakat bisa dengan penuh percaya diri membangun food security-nya sendiri, because I Grow My Own Food ! InsyaAllah.
Oleh: Muhaimin Iqbal (iGrow Co-Founder)