Hampir tiga tahun lalu saya menulis In Search of New Food yang antara lain mengidentifikasi sukun (bread fruit) dan kelor (moringa) sebagai alternative bahan pangan kedepan. Bread fruit akhirnya bener-bener kita tanam dalam skala komersial sebagai bagian dari program iGrow My Own Food. Namun penanaman bahan-bahan pangan baru ini umumnya dilakukan oleh petani dalam skala besar atau bahkan di negeri maju dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Bagaimana kalau masyarakat kebanyakan yang hidup di kota – urban people – kita libatkan dalam pencarian bahan pangan baru ini?
Di event-event Food Summit atau Agritech Summit yang saya ikuti, saya selalu ketemu ide-ide nyleneh dari para peneliti, innovator dan kadang juga perusahaan raksasa untuk pangan masa depan. Ada insect protein dari jangkrik, ada microalgae sebagai sumber functional food dan bahkan juga berbagai upaya untuk menghasilkan daging sintetis.
Kalau toh riset-riset ini berhasil nantinya, berbagai bahan pangan baru tersebut akan dikuasai oleh para industrialis raksasa. Dampaknya masyarakat kebanyakan hanya akan sebagai pasar yang semakin menggantungkan makanannya pada produk industri. Hal ini tentu bukan in the best interest dari sebagain besar penduduk bumi.
Meskipun keberadaan perusahaan-perusahaan raksasa pangan ini juga diperlukan untuk menghadirkan kwantitas makanan yang sangat banyak bagi lebih dari 8 milyar penduduk dunia, diperlukan juga upaya kita untuk mampu menghadirkan makanan kita sendiri – sebagian atau seluruhnya. Lebih banyak porsinya lebih baik karena ini akan menurunkan tingkat ketergantungan kita pada bahan pangan yang disupply dari luar.
Maka setelah berbagai tanaman yang sudah kita tanam tiga tahun terakhir berfokus pada daerah pertanian atau perkebunan skala luas, kedepannya kami ingin mulai secara intensif mengajak masyarakat perkotaan untuk bertani dalam arti harfiah – arti sesungguhnya.
Pertimbangannya jelas, yaitu pada tahun 2030 sekitar 7 dari 10 penduduk Indonesia akan ada di perkotaan. Bila yang 7/10 ini menggantungkan supply pangan dari luar (desa atau bahkan luar negeri), maka ancaman krisis pangan seperti yang sudah terjadi di Venezuela dua tahun terakhir – dimana masyarakat yang mampu-pun harus antri makanan 4-6 jam setiap hari – kita kawatirkan bisa juga terjadi di kita.
Apa yang ditanam masyarakat perkotaan ? dimana menanamnya ? bagaimana mencapai skala ekonomisnya ? dan segudang pertanyaan lain tentu masih harus perlu dijawab. Tetapi bila kita berusaha mulai menjawabnya satu per satu dari sekarang, insyaAllah swasembada setidaknya sebagian dari sumber pangan perkotaan itu bisa mulai kita rintis dari sekarang.
Apa menariknya bagi masyarakat perkotaan untuk mulai bertani secara serius ? Trend gaya hidup sehat yang melanda dunia saat ini membuat orang eager untuk tahu detil tentang bahan makanannya. Mereka ingin bisa melacak bahan pangan sampai pada sumbernya, nah kalau sumber iu di dekat kita – bukankah ini akan sangat menarik ?
Selain bahan pangan yang mudah dilacak asalnya (traceable), bahan pangan harus bersih dari segala unsur yang membahayakan kesehatan dan tentu juga harus sustainable – dapat terus menerus diproduksi dengan kwantitas dan kwalitas yang tidak boleh menurun.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan persyaratan tersebut di atas, telah dilakukan kick-off project yang melibatkan alumni dan mahasiswa setidaknya lima perguruan tinggi negeri yang terbaik di bidangnya masing-masing di Indonesia.
Project yang kita berinama Growy IoT Agritech yang disponsori oleh iGrow.Asia ini targetnya bukan hanya sekedar menghasilkan karya ilmiah semata, tetapi harus bisa bener-bener diimplementasikan di lapangan sebagaimana kami mengimplementasikan New Food berupa bread fruit yang bener-bener kita tanam sampai skala komersial tersebut di atas.
Targetnya adalah dengan IoT (Internet of Things) kita ingin bisa bertani di tanah yang sangat sempit sekalipun tetapi harus bisa ekonomis secara komersial. Bukan hanya kwantitas, kwalitas pangan yang dihasilkan harus yang terbaik – full organic tanpa melibatkan pupuk-pupuk atau pestisida kimia.
Ada dua pendekatan yang kami lakukan yaitu Fully Controlled Microclimate (FCM) dan Partially Controlled Microclimate (PCM). Yang pertama akan memungkinkan kita menanam apa saja dimana saja – karena semua prasyarat pertumbuhannya bisa dikendalikan. Sedangkan yang kedua, masih mempertimbangkan lokasi – karena tidak seluruh prasyaratnya dapat dkendalikan.
Sebagai contoh yang pertama adalah dapat menggunakan container karena dengan ini kita bisa mulai bertani di tanah yang sangat sempit seukuran container 20 feet. Mulai dari penyinaran, suhu, CO2, kelembaban sampai nutrisi – dikendalikan dengan teknologi IoT tersebut di atas. Dengan kendali ini, maka di Jakarta-pun kita bisa menanam sayuran dari negeri 4 musim bila diperlukan.
Contoh yang kedua yang partially controlled adalah menggunakan green house, dimana tidak harus mengendalikan suhu dan penyinaran. Karena keterbatasan ini, maka yang kedua hanya bisa untuk jenis tanaman yang habitatnya memang sudah sesuai – bila green house ditaruh di Jakarta misalnya – maka hanya sayuran dataran rendah yang bisa ditanam.
Apakah ini nanti akan bisa ekonomis hasilnya ? justru di sinilah tantangannya, bila mudah – maka kami tidak perlu mengerahkan team dari lima perguruan tinggi untuk menjawabnya. Karena dia sulit, maka akan menjadi peluang tersendiri bagi yang bisa menjawab persoalan ini. Pertanyaan yang sama adalah juga untuk menjawab nutrisi organic, sustainability produksi dlsb.
Satu hal kami yakin, bahwa cepat atau lambat challenge untuk menyiapkan bahan pangan masa depan itu pasti ada yang akan bisa menjawabnya. Tinggal masalahnya apakah yang menjawab itu kita atau orang lain. Bila yang menjawab itu orang lain, kita akan kembali menjadi pasarnya. Bila yang menjawab itu kita, maka disitulah peluangnya. InsyaAllah.
Oleh: Muhaimin Iqbal (iGrow Founder)