Dengan terus bertambahnya jumlah penduduk bumi ini, lahan untuk hunian tentu akan terus bertambah sementara luas daratan bumi tidak bertambah. Akbibatnya yang menjadi korban pertama adalah lahan-lahan pertanian yang berubah menjadi lahan hunian. Lantas dari mana manusia yang terus bertambah tersebut akan memperoleh makanannya  ketika lahan semakin sempit ? Di tahun buah dan sayur yang kami canangkan untuk tahun ini kami ingin mengajak masyarakat luas untuk ikut memikirkan paradox lahan untuk bertani ini, dan sekaligus ber-exercise bersama untuk mengatasinya.
Yang saya sebut paradox lahan untuk bertani disini meliputi dua hal, pertama adalah dari sisi kwantitas lahan yang tersedia untuk bertani faktanya memang terus berkurang – ketika jumlah hunian yang dibutuhkan untuk tempat tinggal manusia terus bertambah.
Yang kedua adalah di lahan-lahan yang masih tersisa tetapi  sudah semakin mahal karena berpotensi untuk berubah menjadi tempat hunian atau aktivitas ekonomi lainnya – seperti pabrik, jalan dlsb .- aktivitas pertaniannya justru menurun, dan kalau toh ada hasilnya cenderung lebih rendah.
Untuk yang terakhir ini misalnya saya jumpai di Jawa Barat ada lahan sawah yang kini nilainya melonjak sampai Rp 400,000 per meter karena ditengahnya dilalui jalan tol. Apakah ini berdampak baik untuk para petani di daerah tersebut ? Yang saya jumpai justru sebaliknya.
Petani jadi enggan memakmurkan lahannya seperti dahulu, karena mereka sudah berangan-angan lahannya akan dibeli orang dengan mahal untuk diubah menjadi pabrik dlsb.
Hal yang lebih gila lagi saya temui di Jawa Tengah, ada lahan tambak yang dijual dengan harga Rp 800,000 per meter – semata-mata karena ada rencana pemerintah untuk membangun infrastruktur ekonomi di kabupaten ybs. Akibatnya tambak-tambak berhenti diolah dan para pemiliknya sudah berangan-angan untuk segera mendapatkan uang yang sangat banyak dari hasil penjualannya.
Peluang pekerjaan jenis baru belum pasti munculnya kapan, sementara pekerjaan lama yang sudah pasti mulai ditinggalkan – seperti pepatah mengharapkan burung yang terbang tinggi sementara punai di tangan dilepaskan.
Bukan hanya pemilik lahan yang harga lahannya melonjak tinggi yang menjadi korban, masyarakat setempat yang biasa bekerja di sektor pertanian – juga kehilangan pekerjaannya. Dari fenomena inilah yang apabila tidak diatasi akan menimbulkan loss generation di dunia pertanian.
Anak-anak petani saja enggan bekerja di pertanian, apa mungkin anak-anak orang kota mau terjun ke dunia pertanian ? Lantas dari mana kita semua akan bisa mengamankan kebutuhan pangan kita bila fenomena ini terus berlanjut tanpa solusi ?
Saya melihat inilah salah satu fardhu kifayah kita di zaman ini, sebuah pekerjaan yang apabila semuanya tidak ada yang melaksanakan – dampakkanya akan dirasakan oleh seluruh umat. Dampak berupa bahan pangan yang harus diimpor, bahan pangan yang kita ragukan keamanannya bagi kesehatan jangka panjang, dampak berupa ketidak mandirian ekonomi dlsb.
Berangkat dari pemikiran fardhu kifayah inilah team kami melakukan berbagai perjalanan, kajian dan business plan yang insyaallah siap dieksekusi tahun ini dengan tema tahun buah dan sayur tersebut di atas.
Dari hasil eksplorasi kami yang mengejutkan kami sendiri adalah insyaAllah tahun ini kami akan bisa bertani bersama Anda yang berminat di tanah-tanah yang masuk akal harganya, maupun di tanah yang tidak masuk akal harganya.
Termasuk yang kami anggap masuk akal adalah adanya temuan kami di suatu wilayah yang jaraknya kurang dari radius 200 km dari Jakarta, dengan jarak tempuh sekitar 2.5 jam dari Jakarta ketika jalan tol selesai dibangun sesuai target 2018. Di tempat ini kita masih akan bisa bertani di berhektar-hektar lahan dengan harga yang tidak melebihi harga sebuah mobil kijang baru. Bahkan Anda bisa bergabung untuk membeli lahan-lahan ini bersama kami bila tertarik.
Tempat-tempat seperti ini berpeluang untuk menjadi sentra buah dan sayur baru untuk mentarget pasar Jakarta, Jawa Barat dan Banten – yang kini sudah tersambung seperti satu kota yang luar biasa besarnya – dengan total penduduk sekitar 64 juta jiwa atau setara penduduk kerajaan Inggris !
Di titik ekstrem yang lain yang masih termasuk di business plan buah dan sayur kami tahun ini, adalah insyaAllah kami juga akan mulai bertani di tanah yang paling mahal di negeri ini. Di tanah yang harga per meter-nya setara satu mobil baru kelas entry level Rp 150 jutaan !
Masih ada tanah wakaf yang hijau di pusat kota Jakarta – yang para konglomerat selalu ngiler melihatnya. Bersama pengelola tanah wakaf yang bersangkutan, kami ingin menjadikan area tersebut pusat percontohan yang kami sebut the ultimate urban farming. Untuk menjadi model bahwa kita masih akan bisa bertani dengan return yang menarik bahkan di pusat kota dengan harga tanah yang paling mahal sekalipun.
Bagi Anda yang sehari-hari ngantor di pusat segitiga emas bisnis Jakarta, Thamrin – Sudirman – Gatot Subroto dan Kuningan, bagaimana kalau dalam beberapa bulan mendatang Anda sudah bisa menikmati makan siang berupa full scale main entrée salad (salad yang menjadi menu makanan utama – bukan makanan pembuka, makanan samping atau penutup) – yang sayurnya baru dipetik ketika Anda memesan salad Anda ? InsyaAllah akan menarik dan akan memiliki segmen pasar tersendiri.
Dari dua contoh tersebut yang ingin saya sampaikan adalah bahwa meskipun secara umum tanah-tanah pertanian ditinggalkan pemiliknya karena berubah menjadi tanah hunian, pabrik dan sejenisnya, insyaAllah kita tetap akan bisa bertani dimana saja.
Harus ada sebagian kita yang mau melakukan ini karena bila semuanya tidak lagi tertarik untuk bertani dan berkreasi di pertanian ini, ketahanan pangan kita akan semakin lemah. Kalau ketahanan pangan kita lemah, umat secara keseluruhan menjadi lemah dan mudah sekali dikuasai atau ‘dijajah’ oleh bangsa atau umat yang lain. Semoga saja tidak terjadi yang kita kawatirkan ini.
Oleh: Muhaimin Iqbal (iGrow Co-Founder)
Sangat menarik dan menggugah semangat, membangunkan sebagian masyarakat/ bangsa kita yang masih ter-ninabobo dgn anggapan lama tentang kekayaan alam dan kesuburan tanah nusantara, yang meninggalkan dunia pertanian dalam ‘kesendirian’ … karena dianggap tidak modern…. tidak bergengsi….