Di antara tanaman-tanaman yang banyak sekali disebut di Al-Qur’an adalah tanaman penghasil biji-bijian. Karena pentingnya biji-bijian ini dalam unsur makanan kita – dia ada di setiap peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. Ada yang tumbuh di negeri tropis yang banyak hujannya seperti padi, ada yang tumbuh di daerah kering dan empat musim seperti gandum. Ada pula biji-bijian yang tumbuh baik di negeri empat musim maupun tropis sekaligus, diantaranya adalah jagung dan sorghum. Ketahanan pangan kita sangat berkorelasi langsung dengan penguasaan biji-bijian ini.
Selain disebut langsung biji-bijian dalam banyak ayat (habba – seperti di QS 80:27), kadang disebut secara umum dari jenis tanamannya – yaitu tanaman semusim (zar’a, seperti di QS 32:27), kadang juga disebut cara bercocok tanamnya dengan berladang (harsy, seperti di QS 3:14).
Biji-bijian berbeda dengan buah-buahan (faakihah, seperti di QS 56:68), yang dihasilkan oleh pohon (syajarah, seperti di QS 24:35), yang pohon ini pada umumnya ditanam dengan metode berkebun (Jannat, seperti di QS 18:32).
Bahkan agar kita tidak keliru dengan biji-bijian yang tidak biasa dimakan, penyebutan biji-bijian (habba) juga dibedakan dengan biji buah yang untuk ditanam – seperti biji kurma ( disebut annawaa, QS 6;95).
Di antara biji-bijian itu ada yang membutuhkan air yang sangat banyak (QS 78:14-15), tetapi ada juga yang bahkan bisa hidup di bumi yang mati (QS 36:33). Jadi rezeki dari Allah berupa biji-bijian ini pasti ada yang sesuai untuk lahan-lahan kita, dalam kondisi apapun lahannya.
Penggunaan biji-bijian sebagai sarana untuk membangun ketahanan pangan – food security – bahkan disebutkan langsung metodenya melalui kisah Nabi Yusuf. Menanam secara maksimal selagi ada hujan (kesempatan), kemudian menyimpannya sebagian untuk makanan maupun untuk ditanam lagi ketika musim kekeringan (peceklik, kesempitan) tiba (QS 12 : 47-48).
Dengan dasar petunjuk yang sangat lengkap dan detail tersebut, kita harus bisa mengaplikasikannya untuk membangun ketahanan pangan di negeri tropis yang subur -tetapi masih di ranking no 70 (affordability), 66 (availability) dan 87 (quality and safety) untuk tahun 2016 ini. Bandingkan ini dengan negeri jiran kita Singapore (2, 14, 24), Malaysia (41, 28, 38) dan Thailand (50, 54, 58).
Salah satunya menurut saya adalah terletak pada pilihan biji-bijian yang kita tanam. Kalau kita terlalu focus pada padi, maka padi pada umumnya membutuhkan sawah ladang dengan air yang sangat banyak. Jadi padi hanya cocok untuk lahan yang memang sudah berupa sawah, terlalu mahal bila harus mengkonversi lahan yang bukan sawah menjadi sawah.
Tanaman lain seperti gandum, meskipun sangat banyak kita impor untuk bahan mie , roti dan aneka makanan lainnya – belum proven untuk ditanam di negeri tropis ini secara massive. Percobaan kami sendiri menggembirakan hasilnya, tetapi ketersediaan bibit gandum ‘liar’ yang cocok untuk tanah kita perlu waktu panjang sebelum bisa ditanam secara komersial.
Jadi apa pilihannya ? untuk tanah sawah pilihannya tetap padi selagi masih memungkinkan menanam padi – karena rata-rata kita masih merasa belum makan bila belum makan nasi ! Tetapi bagaimana dengan tanah-tanah tegalan, apalagi tanah tegalan yang minim air ? Pilihannya adalah aplikasi surat Yaasiin 33 dan As-Sajdah 27.
Surat Yaasiin 33 mengisyaratkan ada biji-bijian yang cocok untuk bumi yang mati – sangat gersang sekalipun. Tidak dibedakan disini antara biji-bijian dari jenis kacang-kacangan (seperti kacang tanah, kedelai dan sejenisnya) ataupun dari kategori sereal (jagung, sorghum dan sejenisnya).
Kacang-kacangan karena leguminose bisa melakukan fiksasi oksigen langsung dari udara, maka dia cocok untuk ditnaman di tanah-tanah yang baru pertama kali akan diproduktifkan dari kegersangannya. Setelah itu bisa dilanjutkan dengan biji-bijian dari sereal yang sesuai untuk tanah tegalan.
Surat As-sajdah 27 mengisyaratkan ada tanaman tertentu dari jenis tanaman semusim yang utamanya untuk memberi pakan ternak dahulu kemudian juga manusianya. Maka kombinasi dari QS 36:33 dan QS 32:27 ini pilihan saya ada di jagung dan sorghum untuk pemberdayaan tanah-tanah tegalan – di luar sawah – yang selama ini belum optimal.
Kombinasi jagung dan sorghum saling melengkapi satu sama lain. Keduanya sangat mirip batangnya, hanya daun sorghum sedikit lebih lembut dan tidak setajam daun jagung. Setelah berbunga dan berbuah baru nampak jelas bedanya, biji sorghum jauh lebih kecil dari jagung – dan dia tidak menempel di tongkol seperti jagung tetapi berupa malai.
Perbedaan lain, meskipun sama-sama hidup di tanah tegalan – jagung masih butuh air yang cukup banyak. Sedangkan sorghum hanya butuh air di beberapa pekan awal usianya, setelah dewasa dia sangat tahan untuk melampaui masa kering sekalipun. Disinilah dia dengan jagung bisa saling melengkapi.
Di tanah-tanah tegalan yang belum optimal penggunaannya, ketika masih banyak hujan seperti saat ini – jagung bisa ditanam dengan baik. Nanti menjelang musim kemarau, dilanjutkan dengan sorghum. Ketika harus melampaui musim kering yang panjang, sorghum yang sudah dipanen masih bisa tumbuh lagi sampai dua kali bila perlu.
Dengan metode ini maka tanah-tanah yang semula gersang tidak akan sempat mengalami kegersangan lagi karena akan selalu ada tanaman yang tumbuh di atasnya. Suhu permukaan tanah yang terlindungi akan memungkinkan kehidupan microorganism dan membantu kesuburan lahan lebih lanjut.
Kedua tanaman ini memberikan hasil yang multi guna, batangnya adalah sumber biomassa yang bisa digunakan apa saja – baik yang terkait pakan, pangan (gula dari batang sorghum) maupun sumber energy terbarukan yang sangat menarik.
Demikian pula bijinya, dia bisa menjadi bahan pangan langsung – maupun bahan pakan untuk ternak. Namun karena saya ingin mengikuti urutan di surat As – Sajdah ayat 27, untuk kedua tanaman ini saya cenderung mengarahkannya untuk pakan ternak dahulu. Mengapa ? Selagi kita bisa memilih makanan yang lebih baik, mayoritas kita pasti memilih makan nasi dengan lauk pauk dari daging yang lezat – ketimbang makan langsung jagung maupun sorghum !
Untuk pakan ternak ini, baik jagung maupun sorghum keduanya bisa diolah dan dicampur dengan bahan pakan lainnya melalui pabrik feedmill, namun bisa juga tidak usah menggunakan pabrik – melainkan dari biji-bijinya langsung ditumbuhkan dalam 9-10 hari untuk kemudian diberikan ke ternak dalam bentuk hijauan tanaman jagung/sorghum muda yang lezat dan bergizi tinggi – yang disebut fodder.
Dengan fleksibilitas penggunaan pakan ini, maka para petani jagung dan sorghum akan memiliki pasar yang luas – yaitu industri pakan ternak atau feedmil , maupun langsung ke para peternak besar maupun kecil yang telah menerapkan system fodder. Untuk yang terakhir ini kami merencanakan pelatihan dan sosialisasinya dalam waktu dekat – setelah serangkian eksperiman yang kami lakukan memberikan hasil yang stabil.
Menanam jagung dan sorghum dalam skala luas ini bisa menjadi solusi bagi negeri ini untuk bisa menurunkan harga daging dan meningkatkan konsumsinya agar mendekati rata-rata konsumsi daging dunia yang kini masih berada di kisaran 4 ali dari konsumsi kita – saat ini kita baru bisa mengkonsumsi protein hewani yang kurang lebih ¼ dari rata-rata dunia.
Karena jagung dan sorghum sudah terbukti tumbuh baik dan sudah ditanam sangat luas di wilayah Indonesia yang kering seperti di Dompu – NTB, mestinya dua tanaman ini juga bisa digunakan untuk memberdayakan lahan-lahan yang belum produktif di wilayah Indonesia lainnya termasuk lahan-lahan idle di pulau Jawa.
Saya melihat sangat banyak lahan yang bisa diberdayakan untuk kedua tanaman ini, bahkan termasuk lahan-lahan di pintu gerbang Jakarta. Team expert terbaik untuk jagung dan sorghum juga telah bergabung dengan team iGrow untuk melengkapi expertise kami, namun untuk sementara kami bidikkan untuk menggarap lahan-lahan dengan skala minimal 100 ha di Jawa.
Dengan skala tersebut, best practice dan economies of scale dalam bertani jagung dan sorghum akan tercapai. Sekaligus di tempat ini juga bisa menjadi ladang edukasi ke masyarakat luas, obyek wisata pertanian, agroventure dlsb., yang dari sini kemudian akan bisa dimunculkan ecosystem ekonomi berbasis jagung dan sorghum – yang bisa mengakomodasi pertanian secara kecil sekalipun.
Diperlukan adanya lokomotif yang kuat agar dia bisa menarik rangkaian gerbong yang sangat panjang, kalau semuanya gerbong dan tidak ada lokomotifnya – maka gerbong tidak bisa berjalan kemana-mana seberapa banyaknyapun gerbong tersebut. Jagung dan sorghum dalam skala komersial inilah yang kami jagokan untuk bisa jadi lokomotif yang sangat kuat untuk menarik rangkaian panjang food security kita – insyaAllah.
Oleh: Muhaimin Iqbal (iGrow Founder)