Sejak Sekolah Dasar kita belajar bahwa dahulu bangsa barat menjajah negeri ini awalnya berburu rempah-rempah. Namun kita pada umumnya hanya paham sampai ‘apanya’ bukan ‘mengapanya’, mengapa mereka menempuh perjalanan yang sangat jauh ‘hanya’ untuk berburu rempah-rempah ? Karena system pembelajaran kita lebih menekankan ‘what’ bukan ‘why’, maka kita kurang bisa mengambil pelajaran yang sesungguhnya. Kalau saja kita memahami ‘why’-nya – we will know the reason behind everything – insyaAllah kita tidak pernah terjajah lagi.
Mereka menempuh perjalanan yang begitu jauh, berbahaya, menyeberangi samudra, dengan kapal jaman pra-teknologi, pasti bukan karena sedang bersenang-senang, mereka mencari sesuatu yang begitu berharga saat itu yaitu rempah-rempah.
Untuk mengggambarkan seberapa mahal-kah rempah-rempah era pra-teknologi itu bisa kita ketahui dari catatannya penterjemah muslim Ma Huan – yaitu penterjemahnya Laksamana Cheng Ho – ketika berlayar ke Nusantara : “…setelah lada itu kering, dijual setiap 100 Chin dengan harga 80 keping emas...”.
Seratus Chin kurang lebih setara 50 kg, jadi harga per kg lada saat itu adalah sekitar 1.6 keping emas atau setara Rp 3,500,000 uang kita sekarang. Jadi lada atau merica – yang merupakan remaph-rempah yang sangat penting – memang sesuatu yang sangat mahal di jaman itu.
Karena berharganya komoditi rempah-rempah yang juga merupakan unsur makanan, obat dan aroma yang ada di Sunnah Nabi ini pula beberapa abad sebelumnya – awal abad 14 bibit lada dibawa oleh para pedagang dari Malabar (India) bersamaan dengan mereka menyebarkan agama Islam dan berdagang ke Nusantara ini.
Dari jejak penyebaran Agama Islam yang bisa kita cross referensi-kan ke lada inilah kita bisa memahami mengapa dari dahulu Islam sangat kuat di Banten, dari mana kita tahu ? pedagang Islam-lah yang membawa lada ke Nusantara, dan ditanam dimana yang tumbuh terbaik ? salah satunya ya di Banten. Maka di ujung Pulau Jawa bagian barat ini ada teluk yang diberi nama hingga kini Teluk Lada !
Setelah kita belajar sejarah tidak lagi hanya dengan ‘what’ tetapi juga dengan ‘why’ sekarang kita mulai bisa merangkai benang merahnya, antara kekuatan dagang, komoditi yang berharga, dan daerah yang berpotensi untuk menghasilkan komoditi tersebut. Dari belajar sejarah ini, inysaAllah kita akan bisa kembali membangun kekuatan ekonomi dengan menyambungkan benang merah yang sama yang merangkai tiga komponen tersebut.
Lantas komoditi atau objek yang akan kembali kita kuasai perdagangannya apa ? amat sangat banyak yang bisa kita gali potensinya, antara lain tentu termasuk rempah-rempah atau secara khusus lada ini. Negeri ini dahulu dijajah karena kekayaannya atas sumber rempah-rempah ini, mengapa tidak sekarang rempah-rempah ini pula yang antara lain kita jadikan ini sebagai unggulan perdagangan kita di era global – ganti kita yang ‘menjajah’ dunia dengan rempah-rempah ?
Rempah-rempah seperti lada selain sebagai bumbu wajib bagi makanan-makanan terlezat di dunia, dia bisa disuling menjadi minyak atsiri untuk fragrance and flavor, dan dia bahkan juga menjadi bahan obat. Jadi kalau dahulu bangsa barat berburu lada sampai Nusantara ini, seluruh dunia kini juga membutuhkan lada ini.
Unsur ketiga yang akan kita rangkai adalah dimana kita akan menanam kembali lada ini secara massif sehingga kita bisa kembali menjadi kekuatan perdagangan kita ? Untuk ini Alhamdulillah kita tidak perlu re-invent the wheel – sejarah telah menuntun kita ke sana, yaitu di daratan di sekitar Teluk Lada !
Banten yang dahulu menjadi salah satu daerah penanaman dan pusat perdagangan lada yang diabadikan dengan nama teluknya Teluk Lada, maka disitulah insyaAllah kita akan menanam kembali lada secara massif itu.
Menariknya lada ini bisa ditanam sebagai tanaman sela, diantara pohon-pohon kelapa, kurma, alpukat dlsb yang selama ini sudah terlebih dahulu banyak sekali kami tanam di Tanjung Lesung Agropolis Project. Hadirnya lada ini melengkapi anggota keluarga di kelompok tanaman-tanaman yang kami tanam sesuai komposisi makanan menurut surat ‘Abasa yaitu 1/8 ( biji-bijian), 6/8 (buah, sayur dan rempah-rempah), dan 1/8 (sumber pangan hewani).
Selain untuk pasar ekspor, tanaman rempah-rempah khususnya lada juga untuk mengisi konsentrasi pasar terbesar di Indonesia, pasar segede kerajaan Inggris – yaitu tiga provinsi yang terdiri dari Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat. Bila digabung pasar di tiga provinisi ini ukurannya sekitar 65 juta orang, yang semuanya pingin makanan yang tidak hambar, apa yang dibutuhkan ? kembali ke lada/merica, cabe dlsb.
Maka inilah yang antara lain akan kami ajak peserta workshop tersebut diatas untuk meng-explorasi bareng peluangnya, baik dari sisi perdagangan maupun dari sisi pertaniannya. Sisi permodalan akan diatasi dengan pendekatan perdagangan – karena lawan riba adalah jual beli, sedangkan sisi produksi akan dibangkitkan kembali melalui bertani di daerah-daerah yang paling berpotensi.
Untuk pasar 65 juta orang yang saya singkat BJJB (Banten, Jakarta dan Jawa Barat) misalnya, pemenuhan kebutuhannya akan makanan yang berimbang sesuai dengan Abasa Diet yang sudah kami kaji potensinya adalah sebagai berikut :
Banten untuk sumber produksi buah dan rempah (QS 80 :28 – 30), program konkritnya adalah Kepemilikan Kebun Prodktif – yang saat ini ready stock baru 50-an unit kavling dengan ukuran 0.5 s/d 1.5 ha per kavling.
Jawa Barat untuk sumber produksi biji-bijian (QS 80:27) dan ternak (QS 80:32), bentuk konkritnya lambbank (maaf tertutup karena kapsitas terbatas dan sudah penuh), iGrow untuk jagung dan ketela (food and feed) dan juga iGrow Green House Project untuk supply sayur-sayuran (QS 80:28) , yang insyaAllah keduanya akan dibuka dalam waktu dekat setelah lahan-lahan yang kami siapkan bisa mulai ditanami.
Untuk Jawa Barat – saat ini yang sedang kami siapkan meliputi Subang, Indramayu, dan Majalengka untuk biji-bijian ketela dan ternak, sedangkan sayur-sayuran di Pengalengan insyaAllah. Berbeda dengan Banten yang konsepnya KKP, yang di Jawa Barat konsepnya lebih ke iGrow – kerjasama penanaman, atau SalamSale untuk pembelian produk pertanian dengan pesanan.
Bagaimana dengan Jakarta ? Karena pertimbangan harga lahan dan mayoritas aktivitas penduduknya – maka untuk yang ingin menanam di Jakarta-pun kami sediakan solusinya, yaitu sayuran microgreen – yang bila dilakukan dengan benar bisa tidak kalah produktifnya dengan bertani secara full scale.
Bagaimana kalau yang di Jakarta pingin bukan hanya sekedar bertani sayur microgreen tetapi juga bisa beternak sendiri sehingga bisa minum susu segar yang baru diperah setiap hari ? Riset kami juga hampir tuntas masalah ini, intinya adalah beternak dengan mengandalkan pakan dari micro-fodder yang insyaAllah akan saya tulis secara tersendiri.
Bagaimana untuk pasar di luar BJJB tersebut ? semua yang kami siapkan intinya adalah sebagai model, aplikasinya ke daerah lain tinggal mengikuti dan memodifikasi area-area yang diperlukan.
Betapa bersyukurnya kita hidup di negeri – dimana kita bukan hanya bisa membaca dan memahami, tetapi kita bisa juga mengamalkan petunjuk-petunjukNya yang sangat lengkap dan detil. Di negeri yang diberi tanah-tanah terbaik (QS 78 :6-7) , sinar matahari yang memancar sepanjang tahun (QS 78:13) , dan hujan yang mencurah secara berlimpah (QS 78:14)
Untuk apa itu semua ? linukhrija bihii habbaw wa nabaa taa – supaya Kami tumbuhkan dengan itu biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan (QS 78:15), tidak kah kita ingin menjadi petani-petani Allah ini ? Tidakkah kita ingin seperti para pendakwah yang dahulu datang ke Nusantara ini dengan membawa bibit lada, yang kemudian menjadi sumber kekayaan negeri ini yang sampai menggiurkan bangsa asing berabad-abad lamanya ?
Silahkan menghubungki kami bila ada diantara project-project tersebut di atas fit untuk Anda !
Oleh: Muhaimin Iqbal (iGrow Founder)
artikel yang menarik