“Tanaman-tanaman baru tumbuh di tanah yang semula dianggap tidak bisa digunakan, teknik baru untuk memperbaiki kondisi tanah, irigasi ke tanah-tanah yang kekurangan air, hukum yang mengijinkan seseorang menguasai lahan-lahan yang mati lebih dari tiga tahun, pajak yang rendah – telah membuat  desa-desa bukan hanya cukup memproduksi pangan bagi penduduk desa, tetapi juga menjadi pendorong tumbuhnya kota-kota baru yang spektakuler di seluruh wilayah Darul Islamâ€.
Kutipan tersebut bukan datang dari pemikir atau aktivis muslim yang merindukan hadirnya kembali kejayaan Islam di semua sektor kehidupan, tetapi dari seorang professor di bidang sejarah ekonomi dari University of Toronto yaitu Professor Andrew M. Watson dalam bukunya “ Agricultural Innovation in the Early Islamic World†(Cambridge University Press, 1983).
Buku setebal 260 halaman yang sangat sarat dengan referensi sejarah – yang mayoritasnya ditulis oleh ulama-ulama Islam pada jamannya masing-masing ini mencover detail revolusi pertanian Islam dari awal abad ke 2 H (8Masehi) sampai abad 6 H (12 Masehi).
Paragraf pendek di awal tulisan saya tersebut adalah intisari dari revolusi pertanian Islam itu. Pertama adalah tidak ada lagi istilah lahan yang tidak bisa digunakan – karena Allah-pun memberi petunjukNya untuk cara menghidupkan bahkan bumi yang mati sekalipun (QS 36:33).
Kedua, selalu ada cara untuk memperbaiki kondisi tanah yang semula tidak produktif menjadi tanah yang paling produktif. Unsur-unsur perbaikan hara tanah itu tersedia melimpah di sekitar kita baik yang berasal dari tumbuhan, maupun yang berasal dari hewan (QS 16:10-11).
Ketiga, karena sumber kehidupan itu adalah air, sedangkan air tidak turun sepanjang tahun, air juga tidak menetap di seluruh permukaan bumi – maka kita harus pandai-pandai mengelolanya. Mengelola air hujan yang turun seberapapun banyaknya, dan mengelola distribusinya dengan cara-cara yang paling efisien.
Keempat adalah system kepemilikan tanah yang mendorong orang harus memakmurkan lahannya, karena bila tanah sampai tidak produktif lebih dari tiga tahun – tanah tersebut kembali milik negara dan diberikan kepada yang bisa memakmurkannya.
Kelima adalah system pajak yang tidak memberatkan, para petani adalah para pejuang kehidupan yang menjaga ketersediaan pangan. Mereka adalah para pembayar zakat tertinggi 5 – 10% dari hasil buminya, maka mereka tidak boleh dibebani dengan biaya-biaya yang akan memberatkan mereka lagi.
Bila lima hal tersebut dilakukan, maka negeri manapun di dunia baik dahulu maupun kini insyaAllah akan menjadi negeri yang makmur, yang berkecukupan pangan dari swasembada negeri itu sendiri. Ini bukan teori, tetapi blue print atau cetak biru yang pernah benar-benar diwujudkan dalam negeri yang paling maju di jamannya – yang berlangsung berabad-abad lamanya.
Salah satu saja dari lima prinsip tersebut tidak terpenuhi, maka kecukupan pangan itu terganggu. Misalnya prinsip ke 4 di negeri ini tidak berlaku sama sekali, Anda boleh punya lahan seluas apapun yang Anda anggurkan bertahun-tahun lamanya – hanya karena Anda jadikan lahan untuk investasi tanah dan spekulasi harga.
Apa dampaknya ? Anda akan temukan berpuluh ribu hektar lahan di wilayah Jabodetabek, Jabar dan Banten saja – yang kini nganggur atau tidak produktif. Sementara kita semua teriak-teriak harga pangan mahal, ketersediaannya tergantung dari impor dari luar negeri.
Bagaimana kita bisa swasembada pangan – bila prasyarat untuk ini tidak terpenuhi ?
Mungkin perlu pejuang-pejuang politik yang ikhlas dan istiqomah jangka panjang untuk memperjuangkan hal-hal semacam ini, tetapi bagi kita rakyat kebanyakan juga tidak boeh menyerah dengan keadaan – kita hanya harus pinter-pinter beradaptasi saja.
Katakanlah prinsip ke 4 dan ke 5 tersebut belum bisa terpenuhi, kita bisa bekerja secara maksimal dengan tiga prinsip pertama – yaitu tidak ada tanah yang tidak berguna, selalu ada jalan untuk memperbaiki kondisi tanah dan berpandai-pandai dalam mengelola air/irigasi.
Saya sendiri merasa tertantang untuk fokus pada 3 hal tersebut – karena yang 4 dan 5 sementara ini diluar jangkauan saya. Maka setelah project Jonggol dan Blitar kita jadikan arena pembelajaran selama lima tahun terakhir, waktunya menyebar luaskan dan mengajak masyarakat yang lebih luas lagi untuk mau bekerja keras memakmurkan bumi ini.
Project berikutnya yang sudah dalam persiapan insyaAllah di Banten, kemungkinan besar model KKP (Kepemilikan Kebun Produktif) yang akan kami jalankan, sehingga Anda para (calon) pemilik lahan produktif tidak lagi harus belajar dari nol untuk memakmurkan bumiNya ini.
Agar harga tanah tidak keburu naik di lokasi-lokasi yang kami targetkan tersebut, lokasi tepatnya belum kami umumkan – tetapi bagi Anda yang serius ingin bergabung sudah bisa mencatatkan minatnya dahulu untuk memperoleh informasi yang lebih detil.
Blue print kemakmuran berbasis pertanian itu pernah terwujudkan selama berabad-abad bahkan di negeri kering yang curah hujan tahunannya hanya 636 mmm/tahun. InsyaAllah kita minimal bisa sama atau bahkan lebih baik karena negeri ini memiliki curah hujan rata-rata di atas 2,700 mm/tahun.
Sekering-keringnya wilayah kita, masih lebih basah dari Andalusia di puncak kejayaannya. Mengapa kita tidak tergerak untuk mengadopsi karya para ulama-ulama pada jamannya tersebut ? InsyaAllah kita bisa.
Oleh: Muhaimin Iqbal (iGrow Co-Founder)
Boleh didaftarkan untuk informasi lanjutan?
Aida Heralina
Tentu bu, akan kami catat dan kami infokan melalui email..
Fenomena yang saat ini terjadi adalah maraknya pengeringan lahan pertanian untuk dijual kepada para investor di bidang properti dan industri yang mengancam keterrsediaan lahan pertanian produktif dan dalam jangka panjang menurunkan ketahanan pangan nasional, Sehingga negara perlu melindungi lajan2 pertanian produktif untuk tetap berfungsi sebagai lahan pertanian ketika pemilik lahan menjual lahannya
Saya juga tertarik dengan info lebih lanjut mengenai ini. Mohon didaftarkan untuk informasi lanjutan. Terima kasih.